TEMPO.CO, Jakarta-Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui masih ada kekurangan dalam proses sosialisasi Rancangan Undang-Undang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini, kata dia, membuat banyak pihak salah memahami konteks perubahan dalam KUHP.
"Ini mungkin, gimana ya, kami memang juga mungkin (salah) tidak melakukan hal (sosialisasi). Saya juga mungkin. Kesalahan kita adalah (tidak) sosialisasi," kata Yasonna dalam konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Jakarta Pusat, Jumat, 20 September 2019.
Yasonna menuturkan selama ini pembahasan soal RKUHP sudah dilakukan secara transparan. Selama empat tahun terakhir pembahasan rutin di Panitia Kerja RKUHP DPR dilakukan secara terbuka.
Ia pun menyebut pembahasannya sudah melibatkan lembaga-lembaga lain. "Setiap ada perdebatan, dari pakar dari apa kami undang. Dari Komnas HAM, KPK, dari mana-mana kami undang," kata Yasonna.
Hanya saja, Yasonna menduga pembahasan ini luput dari pemberitaan media. Karenanya ketika mulai ramai diberitakan, banyak yang kaget tanpa memandang proses pembuatannya.
Akibatnya, Yasonna mengatakan banyak pihak yang salah memahami RKUHP ini dan membaca draf RKUHP lama yang sudah banyak berubah. Padahal, ia meyakini RKUHP saat ini sudah lebih lengkap dan lebih baik. "Ini yang brangkali mungkin sama-sama di situ kita salahnya," kata Yasonna.
Melihat gejolak penolakan di masyarakat terhadap RKUHP, hari ini Presiden Joko Widodo telah meminta agar pengesahan RKUHP ditunda. Jokowi mengatakan ada 14 pasal yang perlu dikaji ulang.
Yasonna dalam penjelasannya, mengatakan pasal yang dikaji ulang adalah pasal yang banyak disalahartikan oleh masyarakat. Beberapa pasal itu adalah Pasal 219 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal 278 tentang pembiaran unggas, Pasal 414 tentang mempertunjukan alat kontrasepsi, Pasal 417 tentang perzinahan, Pasal 418 tentang kohabitasi, Pasal 432 tentang penggelandangan, Pasal 470 tentag aborsi, dan Pasal 604 tentang tindak pidana korupsi.